Rabu, 24 September 2014

Teruntukmu, Ayah.




 Ketika aku menulis kata Ayah di makroblog ini, bukan berarti aku mengabaikan ibuku.
Ketika aku membahas ayahku, ibuku tahu bahwa aku sedang membicarakan pria yang mencintainya. Ibuku juga tahu, bahwa aku sedang membicarakan pria yang ia sayangi.
Ketika aku membahas ayah, ibuku tahu..
Bahwa ini menunjukan ungkapan cinta dari putrinya untuk pria yang ia cintai.
Ayah, entahlah bagaimana memulainya.
Air mata rasa bangga memilikimu selalu menetes ketika aku tahu kau selalu berusaha memenuhi apa yang kami butuhkan. Air mata iba ketika melihatmu kelelahan.
Bagaimana caranya untuk seperti kau? Selesai mencari nafkah dengan sembrawutnya dunia tanpa pernah mengeluh sedikitpun.
Yang selalu berada di depan kami ketika kau memimpin keluarga. Yang selalu di belakangku ketika semua orang menertawai ambisiku. Kau tidak pernah memberhentikan idealisku. Tapi, kau selalu membuat aku mampu memporsir idealisku dengan realitas dan wawasan yang kau tahu.
Entahlah bagaimana mengatakannya, sedih rasanya ketika semua orang memintaku menghentikan idealisku dengan tawa. Saat mereka tertawa ketika mendengar serentetan idealisku. Tawa yang semata hanya untuk membuatku berhenti tanpa pernah mencoba.

Kau membelaku di hadapan mereka. Walau mereka termasuk ibuku, kakakku dan adikku. Kau mampu mengimbangi kami. Kau menunjukan bahwa mereka sebenarnya hanya menunjukan rasa khawatir jika aku jatuh. Karena jatuhku, jatuhnya mereka. Sakitku, sakitnya mereka.
Salah satu penghormatanku padamu adalah dengan seberusaha mungkin menyertakan
putramu untuk menemaniku keluar rumah yang berpotensi bertemu dengan pria yang mungkin buatku tidak nyaman. Putramu itu adalah salah satu pria yang kau percaya mampu menjagaku selain kau. Aku selalu berusaha membuatmu tidak cemas dengan menyertakan putramu dihari-hariku. Kehadiran putramu disampingku membuat pria pria lain tidak menggangguku.
Ya, dia adik . Aku cukup bergantung kepadanya.
Dan, aneh rasanya ketika aku bersanding dengan pria yang tidak kau kenal. Aku merasa aku melukaimu. Mempercayai pria lain yang kau tak kenal. Yang mau tidak mau ketika pria mulai menyentuh tangan mungilku dan memelukku erat seraya melindungiku. Aneh rasanya ketika permatamu tersentuh pria diluar sana tanpa izinmu. Mungkin semacam putri yang tidak pernah kenal dengan ayahnya. Semacam putri yang tidak peka dengan rasa memiliki seorang ayah terhadapnya.
Maafkan aku ayah. Entah lah, bagaimana mungkin kau mengatakan sudi jika kulit lembut putrimu tersentuh pria, tawa riang penuh hasrat menggoda terdengar liar di telinga pria, wajah cantik putrimu terlezat-lezati banyak pria. Sedangkan kau berharap tentang pria yang tau "hak" atas diriku.
Ayah, kau sama dengan pria tua lainnya. Yang sangat melindungi anak perempuannya. Yang terampil membaca kondisi putrinya. Termasuk ketika aku menyembunyikan sesuatu.
Jilbab kami, ya! Itu salah satu bentuk kami mengingatmu, Ayah!  Bagaimana mungkin kami dengan sadar menyeretmu ke neraka karena nafsu dunia. Tidak.

Ayah, kau tentu masuk daftar hal mewah di dunia ini. Kedua setelah ibuku, ya Istrimu.
Ayah, hanya satu doa aku yang teratas untukmu. Doa ini di atas segalanya. Doa ini teratas setelah kesehatanmu, kebahagiaanmu, karirmu dsb.

Ayah, aku berdoa. Jika kau menghadap keharibaan Allah nanti dan suatu hari kami sekeluarga bertemu kembali di dahsyatnya alam akhirat. Aku ingin kami bersama nanti, berpelukan di tengah milyaran manusia nanti. Berjabat tangan tidak terlepaskan. Itu doaku teratas, Ayah! Harapan agung tentang keluarga. Rasanya aku akan gila membayangkan kami tidak akan bertemu lagi di akhirat nanti. Tidak ayah! Tidak. Aku mencintaimu. Memelukmu erat di tengah hiruk pikuknya alam akhirat nanti. Sebagai seseorang yang memeliharaku di dunia. Yang mencintai, melindungiku selama hayat hidupmu. Allah memberkahimu ayah. Allah tahu, bagaimana kau mati-matian melindungiku putrimu, dan keluarga. Kau sosok yang menemaniku dalam pencapaian ambisi besar tentang dunia.
 
Deras jatuh air mataku menulis ini. Mengingat semua bimbinganmu waktu ku kecil. Menjemputku, menggendongku, canda tawa bersama. Ah ayah! Entah lah bagaimana menghentikan air mata ini. Seorang pria yang menggiringku ke tempat yang aku mau. Seorang pria yang menghalangi bahaya bahaya yang siap menerkamku. Uang pendidikan yang kau siapkan untukku.
Entahlah bagaimana cara membalasmu. Aku mencintaimu ayah. Dan, terbesit harapan. Putriku kelak, akan terlindungi baik oleh suamiku nanti. Hingga, putriku nanti mencintai suamiku. Sebagaimana aku putrimu mencintai kau. Ayah, Aku mencintaimu.